Thursday, July 27, 2023

Kisah Si Barong

 Kita semua tentu mengenal uang yang satu ini : 10.000 Rupiah 1975 bergambar relief candi Borobudur di bagian depan dan topeng barong di bagian belakang. Uang yang lebih dikenal dengan sebutan 'barong' ini diedarkan mulai tahun 1976 dan ditarik awal April 1980. 

Saat sekarang uang yang sangat indah ini dihargai sekitar 2,5 jutaan Rupiah untuk kondisi UNC, tetapi untuk kondisi biasa mungkin harganya hanya berkisar beberapa ratus ribu rupiah saja.

10.000 Rupiah 'barong' 1975

Tetapi tahukah anda berapa nilai sesungguhnya sewaktu uang ini diedarkan? Apakah harga saat ini yang sekitar 2,5 juta sesuai dengan nilainya waktu itu? Mari kita pelajari bersama :

Kebetulan saya memiliki selembar bon pembelian cincin yang bertanggal 7 April 1976, jadi kurang lebih waktunya sama dengan waktu uang barong tersebut beredar. Pada bon tertulis "satu cincin mata merah daging 90% (21 karat) seberat 9,550 gram dan batu (tanpa disebut jenisnya) seberat 0,700 gram". Cincin tersebut dihargai Rp.20,750,-

Bon pembelian cincin tanggal 7 April 1976

Bila kita hitung secara kasar harga emas 21 karat saat itu (tanpa menghitung batunya)
adalah: Rp.20.750 dibagi 9,550 gram = Rp.2,170 per gram

Selembar uang barong senilai Rp.10,000 saat itu bisa dipergunakan untuk membeli 
sekitar 4,6 gram emas 21 karat.

Bandingkan dengan harga emas 21 karat saat ini yang sekitar Rp.475,000/gram
Berarti selembar uang tersebut bila di kurs dengan nilai saat ini kurang lebih 
bernilai Rp.2,2 juta (tentu tanpa melihat apakah UNC atau tidak)
Bisa anda bayangkan betapa tingginya nilai si barong waktu itu?

Uang barong memiliki makna sangat penting bagi saya pribadi, ceritanya begini :
Sewaktu saya mendengar bahwa uang tersebut akan ditarik dari peredaran sekitar awal tahun 1980, saya kelabakan. Maklum saja saya tidak pernah memegang uang tersebut, nilainya terlalu besar untuk seorang anak SMP yang uang jajannya cuma Rp.500 perhari. Saya tidak mau kejadian yang saya alami pada seri sebelumnya yaitu seri Sudirman terulang lagi, dimana saya tidak berhasil mengumpulkan pecahan Rp.5.000 dan Rp.10.000nya. Pecahan tertinggi yang berhasil saya simpan adalah Rp.1.000 Sudirman, itupun saya dapatkan dengan bantuan kakek saya.

Karena itu, agar tidak terulang lagi maka dengan nekad saya mencuri selembar uang barong milik ibu saya. Kebetulan saya mengetahui tempat rahasia ibu saya menyimpan uang yaitu di laci tambahan di dasar lemari baju. Beberapa hari kemudian terjadi kegemparan, ibu saya marah-marah kepada semua orang (waktu itu keluarga saya masih tinggal bersama dengan keluarga besarnya). Semua paman, tante, sepupu dan pembantu diinterogasi termasuk juga ayah saya yang tidak tahu apa-apa. Kehilangan uang sebesar itu membuat ibu saya marah besar selama berhari-hari dan herannya satu-satunya orang di rumah yang tidak kena marah cuma saya. Mungkin ibu saya berpikir buat apa uang sebesar itu bagi seorang anak SMP? Seandainya saya butuh uang untuk beli buku atau mainan yang mahal sekalipun, paling2 cuma perlu beberapa ratus atau seribu dua ribu rupiah saja. Tidak mungkin saya membutuhkan uang sebesar Rp.10.000. 

Akhirnya setelah beberapa bulan kemarahan ibu saya reda dan misteri hilangnya uang tersebut tidak pernah saya ungkapkan sampai beberapa tahun kemudian sewaktu uang tersebut sudah benar-benar tidak berlaku. Saya keluarkan dan saya bilang kalau saya menemukan uang itu di kolong lemari, ibu saya heran karena kolong lemari sudah diperiksanya puluhan kali dan tidak ada apa-apa disana kecuali debu. Karena sudah tidak berlaku maka saya bertanya dengan penuh harap apakah boleh uang tersebut saya simpan? Buat kenang-kenangan kata saya. 
Dengan pasrah ibu saya cuma bisa mengangguk.
Yes!! Akhirnya saya punya selembar uang barong yang tetap saya simpan sampai saat ini.

Sejak saat itu setiap ada uang baru yang diedarkan saya selalu menyempatkan untuk menyimpannya beberapa lembar. Pecahan kecil langsung saya simpan dari uang jajan sedangkan pecahan besar saya simpan dengan cara menabung dan menukarnya setelah jumlahnya memadai. Dengan bertambahnya waktu, inflasi makin tinggi, pecahan terbesarpun menjadi kurang bernilai sehingga nilai tertinggi 10 ribu gamelan 1979, 10 ribu Kartini 1985, 20 ribu cendrawasih, 50 ribu Suharto atau 100 ribu polymer bisa dengan mudah kita dapatkan. Bertahun-tahun kemudian, setelah saya punya cukup tabungan baru saya bisa membeli 2 lembar uang yang lolos yaitu Rp.5000 dan Rp.10000 Sudirman, dan setelah saya bekerja baru saya bisa membeli uang2 dari era sebelumnya. 

Ternyata untuk menjadi seorang kolektor dibutuhkan perjuangan yang cukup berat.
  

No comments: